Rabu, 12 Januari 2011

KAIDAH ISTISHLAH oleh HA. Saeful Mu'min

A. Pengertian Kaidah Istishlah
Istishlah merupakan istilah lain yang digunakan oleh para ulama bagi mashlahah mursalah, selain daripadanya adalah al Munâsib al Mursal dan adapula istidlal al mursal. Ketiga istilah itu bermuara pada satu permasalahan yaitu mashlahah. Mashlahah memiliki makna yang sama dengan manfaat dan arti dan wazannya. Ia merupakan mashdar yang bermakna al shilâh seperti lafadz manfa’at bermakna al naf’u. semua lafadz mashlahah mengandung makna manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses. Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara’ kepada hamba-Nya adalah dalam menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Rahmat Syafei menjelaskan bahwa dari ketiga istilah itu meskipun tampak menuju kepada satu tujuan, akan tetapi memiliki tinjauan yang berbeda-beda. Mashlahah mursalah merupakan hal-hal yang tidak ada petunjuk dalam nash akan tetapi tidak bertentangan dengan syari’at dan memiliki nilai kebaikan. Al munâsib al mursal adalah sesuatu yang mengandung kesesuaian dengan tujuan syara’ namun tidak ditunjukan dengan dalil khusus, seperti penting membuat akte kelahiran sebagai sesuatu yang sesuai dengan tujuan syara untuk menjaga keturunan. Adapun istishlah adalah merupakan proses penggalian dan penetapan hukum terhadap suatu mashlahah yang ditunjukan oleh dalil yang khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu bagian tujuan syara’.
Berdasarkan beberapa definisi yang didapat, maka dapat kita definisikan bahwa kaidah istishlah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan proses istishlah menggali dan menetapkan suatu kemashlahatan dalam rangka mencapai tujuan syara menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Kaidah-kaidah istishlah memiliki lingkup dalam kaidah fiqhiyyah sebeagai suatu tatbiq al ahkam.
B. Identifikasi Kaidah Istishlah
Untuk mengidentifikasikan suatu kaidah itu adalah termasuk kepada kaidah istishlah dapat digunakan dua ukuran :
1. Mashlahah merupakan lawan dari pada mafsadat atau madharat. Oleh karena itu kaidah yang berbunyi : الضرور يزال “Kemadharatan itu mesti dihilangkan” merupakan kaidah istishlah dan setiap kaidah yang merupakan turunan darinya adalah kaidah istishlah. Seperti kaidah :
ا الضرورة تبيح المحظوراة
“Kemadharatan itu dapat membolehkan keharaman”
Ketika kita sedang berada dalam keadaan darurat (misalkan : dikawasan kutub utara dan kita harus meminum minuman beralkohol agar tidak meninggal kedinginan), maka kaidah di atas dapat digunakan sebab pada dasarnya kaidah itu bertujuan dalam rangka menjaga jiwa (hifdz al nafs).
2. Setiap kaidah yang ditujukan dalam rangka mewujudkan suatu kemaslahatan, sesuai dengan tujuan syara', baik yang dharuri (memeliharan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), maupun yang hajji atau tahsini dapat dikategorikan kepada kaidah istihslah.
Contoh :
كل مال ضائع فقد مالكه يصىفه السلطان الى المصلحة
“Setiap harta yang hilang (harta karun) kemudian ditemukan maka ditasharufkan oleh sulton untuk kemashlahatan”.
C. Metode perolehan kaidah istishlah
Kaidah istishlah diperoleh dengan menggali tujuan syara atau kaidah yang kemudian diturunkan baik secara deduktif maupun induktif.
Contoh :
Dalam bermuamalah syara’ menghendaki agar kita senantiasa dapat menjaga harta. Oleh karena itu setiap akad yang dilakukan dalam bermuamalah mesti senantiasa mashlahah agar harta tetap terpelihara dengan baik. Akad yang mashlahah adalah akad yang disertai dengan aturan-aturan yang jelas agar tidak terjadi gharar dan terdapat peluang untuk merugikan salah satu pihak. Dibuatlah serangkaian syarat untuk menjamin kemashlahatan suatu akad.
Atas hal itu ditetapkan suatu kaidah :
كل شرط كان من مصلحة العقد او من مقتصاه فهو واجب
“Setiap syarat dalam rangka menjaga kemashlahatan dan tujuan akad maka diperbolehkan”.
KESIMPULAN
Kaidah bahasa hukum merupakan istilah lain dari qawâid al lughah al ahkâm. Kaidah bahasa atau kaidah lughawiyyah merupakan istilah lain bagi kaidah ushuliyyah atau kaidah istinbathiyah. Kaidah ushuliyyah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian hukum dengan memperhatikan unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlubnya maupun tarkibnya.. Ia adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum, yang umumnya berkaitan dengan ketentuan dilalah lafadz atau kebahasan. Metode perolehan kaidah ushuliyyah dapat kita bagi menjadi tiga, yaitu metode mutakallilim, Ahnaf dan konvergensi. Perbedaan metode perolehan menjadi batasan adanya aliran-aliran dalam ushul fiqh. Metode mutakallimin adalah metode yang dilakukan secara deduktif, sednagkan metode Ahnaf (Hanafiyah) ditempuh melalui system penyusuran kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah yang telah diyakininya bahwa para imamnya telah menyandarkan ijtihadnya pada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyyah tersebut. Metode Ahnaf bercorak induktif. Metode campuran biasa disebut juga dengan metode konvergensi atau thariqat al jam’an. Yaitu metode penggabungan antara metode mutakallimin dan metode hanafiyah, yakni dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu. Juga memperhatikan aplikasinya terhadap masalah fiqh far’iyyah dan relevansinya terhadap kaidah-kaidah tersebut.
Berdasarkan analisis hubungan kaidah dan mabda maka kaidah qiyas adalah kaidah-kaidah yang diperoleh dari hasil metode qiyas dan atau digunakan dalam metode qiyas. Kaidah-kaidah itu berkaitan dengan rukun-rukun qiyas dan unsur dari kaidah tersebut adalah rukun-rukun qiyas itu sendiri.
Kaidah istishlah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan proses istishlah menggali dan menetapkan suatu kemashlahatan dalam rangka mencapai tujuan syara menjaga agama, jiwa, akala, keturunan dan harta. Kaidah-kaidah istishlah memiliki lingkup dalam kaidah fiqhiyyah sebeagai suatu tatbiq al ahkam.
DAFTAR PUSTAKA
A, Djazuli dan I Nurol Aen, Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, al Fikr al Ushuliy, Dâr al Syrq, Mekkah, 1983.
Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul Fiqh, Al Barsan, Iskandar, 1989.
al Ghazali, Ihyâ’ ‘ulûm al dîn ma’a syarh al zubaidiy : (attihâf al sâdat al muttaqîn jilid 5, hal 545, sebagaimana dikutif oleh Ali al Nadzawi, Op.Cit., hal 60
Ali Ahmad al Nadzawy, Al Qawâid al fiqhiyyah, Dâr al Qalam, Damsyq, 2000.
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar