PENDAHULUAN
Salah satu keistimewaan Islam adalah terletak pada ajarannya yang memberikan ruang yang cukup untuk menerima masuknya unsur-unsur budaya luar. Hal ini terbukti ketika Islam dibawa oleh para mubaligh ke wilayah-wilayah baru, maka Islam tidak sepenuhnya menyingkirkan ajaran yang tengah berlaku sejak lama pada masyarakat, tetapi memberikan ruang dan tempat yang cukup untuk beradaptasi dengan budaya lokal, seperti antara lain pada masyarakat Indonesia yang memperlihatkan Islam dan budaya setempat nampak begitu mesra dan saling mengerti.
Adanya akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya lokal, dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan diakomodasi eksistensinya. Sifat akomodatif Islam ini dapat kita temukan dalam kaidah fikih yang menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa menjadi hukum), atau kaidah “al-‘adah syariatun muhkamah” (adat adalah syari'at yang dapat dijadikan hukum).
Hanya saja tidak semua tradisi bisa dijadikan hukum, karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan dengan ajaran Islam, sebagaimana misi Islam sendiri sebagai pembebas manusia dari perbuatan syirik kepada tauhid. Dengan semangat tauhid ini, manusia dapat melepaskan diri dari belenggu tahayul, mitologi dan feodalisme, menuju pada tauhidullah. Dalam kaidah fikih di atas terdapat pesan moral agar memiliki sikap kritis terhadap sebuah tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis inilah yang justru menjadi perdorong terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami persinggungan dengan Islam. Berdasar kaidah fiqh ini pula, kita memperoleh pesan kuat bahwa restrukturisasi dan dinamisasi pemahaman keagamaan Islam hendaknya selalu dikembangkan agar selalu mampu merespon persoalan-persoalan masyarakat dan budayanya yang selalu dinamis dan terus berkembang.
Dengan demikian, Islam selalu mendatangkan perubahan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik. Sunan Kalijaga misalnya, dalam melakukan da'wah Islam di Jawa, dia menggunakan pendekatan budaya, yaitu melalui seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan Majapahit. Melalui seni pewayangan, ia berusaha menggunakan unsur-unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon juga bentuk fisik dari alat-alatnya.[1]
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya. Terdapatnya ritual tahlilan, marhabaan, dan berbagai ekspresi dan iven budaya Islami lain umpamanya, semula adalah produk budaya lokal yang kemudian menjadi bagian dari kehidupanj masyarakat muslim Indonesia yang tidak mungkin lagi dihilangkan. Tentu saja eksistensi budaya keagamaan ini adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat, hal tersebut tidak menghilangkan atau tidak mengganti ajaran tauhid terutama Rukun Iman dan ritual-ritual pokok (ibadah makhdloh terutama Rukun Islam) serta tidak merusak nilai fundamental dari akhlak Islam.
PENGERTIAN AL-ADAH MUHAKKAMAH
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار )[2]
Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
"Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabi'at (perangai) yang sehat"[3]
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya[4].
االعرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum"[5]
Berdasar pada dua definisi di atas, Prof. KH. Ahmad Djazuli menyimpulkan, bahwa al-'adah atau al-urf ini adalah : " Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-'adah al-'aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan"[6]
Dengan demikian al-'adah atau al-urf yang dapat dikatagorikan muhakkamah adalah budaya atau tradisi atau kebiasaan dari sesuatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu :
1. Dianggap baik melakukan atau meninggalkannya oleh manusia secara umum;
2. Dilakukan atau ditinggalkannya secara terus-menerus dan berulang-ulang; dan
3. Tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Adapun Prof. Dr. H. Rachmat Syafe'i, MA., secara lebih rinci menjelaskan bahwa suatu 'adat atau urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Tidak bertentangan dengan syari'at;
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan;
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.[7]
DASAR-DASAR QAIDAH AL'ADAH MUHAKKAMAH
1. Al-Qur'an Surat Al-Haj (22 ) Ayat 78
وما جعل عليكم فى الدين من خرج
" Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan"
2. Al-Qur'an Surat A'raaf (7) Ayat 199
É‹è{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
"Jadilah engkau pema'af dan suruhlan orang mengerjakan yang ma'ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh"
3. Al-Qur'an Surat Al-Baqarah (2) Ayat 233
* 4 ’n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%ø—Í‘ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ الاية 4ÇËÌÌÈ
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf"
4. Al-Hadits :
ما رءاه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رءاه المسلمون سيئا فهو عنداالله سيء
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka menurut Allah-pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)[8]
URGENSI KAIDAH AL-'ADAH MUHAKKAMAH
Sebagaimana dimaklumi bahwa nash, baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah memiliki keistimewaan, di antaranya memberikan ruang dan tempat yang cukup agar manusia dapat mengatur sendiri hal-hal teknis yang paling pas untuk manusia sendiri pada ruang, tempat dan waktu yang berbeda. tidak seluruhnya secara jelas dan tegas dalam menentukan batasan sampai kepada hal-hal teknis suatu paket ibadah tertentu. Dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak menjelaskan ketentuan seberapa lama muwalah (terus menerus, sinambung atau tuluy-tuluy dalam bahasa Sunda) antara akhir ayat dengan awal ayat, antara dua khuthbah jum'ah, antara ijab dan qobul dalam aqad nikah dan sebagainya. Demikian pula tidak ada ketentuan yang menjelaskan ukuran sedikit atau banyaknya gerakkan atau ucapan yang membatalkan shalat, lamanya waktu haid dan nifas, dan lain sebagainya.
Batasan-batasan tersebut ditentukan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku baik pada masyarakat secara menyeluruh, atau daerah tertentu atau kebiasaan secara individu. Berikut ini adalah beberapa contoh penentuan batasan, ukuran, atau hukum yang ditentukan dengan kaidah al-'adah muhakkamah :
1. Jumlah gerakan yang membatalkan shalat. Sedikit (qillah) atau banyak (katsir)-nya gerakan yang membatalkan shalat yang ditentukan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum pada masyarakat. Adat masyarakat Arab menentukan bahwa bilangan mulai dari 3 (tiga) termasuk bilangan jamak atau banyak, maka 3 (tiga) kali gerakan secara terus menerus itu membatalkann shalat.
2. Ukuran minimal najis yang dikatagorikan ma'fuw (diampuni). Untuk mengetahui sedikit banyaknya najis ini semuanya dikembalikan kepada penilaian adat. Jika adat menganggap sedikit, maka najis itu termasuk najis yang ma'fuw.
3. Menentukan muwalah (terus menerus) antara anggota wudlu yang wajib dibasuh bagi orang yang langgeng hadats (daimul hadats), antara dua shalat fardlu yang dijama', antara dua khuthbah, antara khuthbah dengan shalat jum'at, antara ijab qobul dalam nikah, antara ijab qabul dalam jual beli, antara ayat-ayat dalam Surat Al- Fatihah ketika membacanya dalam shalat. Ukuran muwalah untuk masing-masing tersebut ditentukan oleh adat yang berlaku pada masing-masing.
4. Standar takaran atau timbangan. Untuk menentukan jenis timbangan atau takaran, sepenuhnya diserahkan kepada kebiasaan masyarakat. Mengukur kain diukur menurut kebiasaan, ada yang menggunakan meteran atau ada juga di antaranya dengan kiloan, tergantung pada kebiasaan yang berlaku.
5. Ukuran atau kadar yang boleh dimakan atau diminum oleh tamu atas hidangan yang disuguhkan tuan rumah. Apakah boleh dimakan, diminum, atau diambil semuanya. Ukuran hidangan yang boleh dimakan oleh tamu adalah sesuai kebiasaan Menurut kebiasan makanan yang dihidangkan tidak dimakan semuanya. Air minum yang dihidangkan dalam gelas atau cangkir boleh diminum semuanya. Tamu biasanya tidak mengambil untuk dibawa pulang, kecuali tuan rumah menyuruhnya.
KAIDAH-KAIDAH CABANG DARI KAIDAH AL-'ADAH MUHAKKAMAH DAN PENTERAPANNYA
Al-'adah muhakkamah termasuk salah satu dari kaidah asasi yang jumlahnya 5 (lima) kaidah, atau menurut jumhur ulama al-Syafi'i disebut al-qowa'idul khomsah, yaitu : (1). Al-umur bi maqaashidiha; (2). Al-yaqin la yuzalu bis-syaak; (3). Al-masyaqah tajlibu al-taisyir; (4). Al-dlararu yuzalu; dan (5). Al-'adah muhakkamah.
Kaidah cabang adalah kaidah turunan yang lebih sepesifik dari pada kaidah asasi yang lebih umum. Kaidah cabang dari al-'adah muhakkamah menurut Prof. Dr. Rachmat Syafe'i adalah :
1. لاينكر تغيير الاحكام بتغيير الازمنة والامكنة
"Tidak diinkari adanya perubahan hukum dengan sebab perubahan waktu dan tempat"
Contohnya hukum mulai bolehnya seorang laki-laki menikah atau seorang perempuan dinikahi dapat berbeda sesuai kebiasaan, perkembangan budaya, dan peraturan yang berlaku di suatu daerah. Nabi Muhammad Saw menikah dengan Siti Aisyah yang berusia 9 tahun, akan tetapi hal tersebut belum tentu berlaku pada zaman sekarang atau tempat yang berbeda. Di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, laki-laki boleh menikah setelah berusia 19 tahun dan perempuan mulai usia 16 tahun.
2. الثابت بالمعروف كالثابت بالناص
" Yang ditetapkan melalui urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash"
4. استعمال الناس حجة يجب العمل بها
" Apa yang biasa diamalkan oleh orang banyak adalah hujjah (alasan / argument/dalil) yang wajib diamalkan"
Maksudnya apa yang telah menjadi kebiasaan di masyarakat dapat dijadikan aturan yang mesti ditaati. Contoh kebiasaan suatu masyarakat, bahwa seorang kuli selalu menyediakan sendiri alat dan perlengkapan kulinya. Tukang cangkul selalu membawa sendiri alat cangkulnya, tukang kuli bangunan selalu membawa sendiri alat-alat membangunnya. Maka hukum bagi orang yang menyuruh bekerja kepada tukang kuli tersebut tidak wajib menyediakan alat-alatnya, sebaliknya menjadi kewajiban tukang kuli memiliki atau membawa alat-alat bekerjanya.
5. انما تعتبر العادة اذا اضطردت او غلبت
"Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus menerus berlaku atau berlaku umum"
Contoh : Orang yang berlangganan koran atau majalah yang selalu diantar ke rumahnya, maka ketika koran atau majalah tersebut tidak di antar ke rumahnya, orang tersebut dapat menuntut secara hukum.
6. العبرة للغالب الشا ئع لا للنادر
"Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi"
Contoh : Menentukan lamanya waktu haid, lamanya waktu hamil, dan lain-lain. Imam Syafi'i menentukan sedikit atau banyaknya haidl dan nifas bagi wanita berdasarkan adat kebiasaan wanita yang ditelitinya.
7. المعروف عرفا كالمشروط شرطا
"Semua yang telah dikenal karena urf seperti yang disyaratkan karena suatu syarat"
Contoh : Bank mengambil keuntungan berupa bunga dari orang yang menyimpan uang atau sebaliknya. Terhadap hukum bunga bank tersebut ada dua pendapat :
a. Halal, apabila tidak disyaratkan dalam akad, maka bunga tersebut termasuk hadiah. Hal ini sebagimana Rasul saw meminjam kambing dari Yahudi, ketika membayar Rasul mengembalikan kambing dengan yang lebih bagus dan gemuk
b. Haram, hal ini dipandang bahwa bunga tersebut telah menjadi kebiasaan yang berlaku dan ma'ruf (diketahui oleh siapa saja) sekalipun tidak disebutkan dalam akad. Sehingga berdasarkan kaidah "Al-Ma'rufu urfan kal masyruthi syarthon", adanya bunga tersebut menjadi urf (kebiasaan) yang hukumnya setara dengan syarat yang terdapat dalam akad.
8. االمعروف بين تجار كالمشروط بينهم
" Sesuatu yang telah dikenal di antara para pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka"
Contoh : Adanya kebiasaan memberikan komisi.
9. التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
"Ketentuan berdasarkan urf seperti ketentuan berdasarkan nash".
10. كالممتنع حقيقة الممتنع عادة
"Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan"
11. الحقيقة تترك بدلالة العادة
"Arti hakiki (yang sebenarnya, ma'na denotatif) ditinggalkan karena ada petunjuk dari arti menurut adat".
Kata ekor dalam arti sebenarnya adalah buntut. Tetapi dalam kalimat " Budi membeli seekor kambing ", menurut adapt kebiasaan arti ekor di sini berarti satuan atau bilangan kambing.
12. الاذن العرف كالاذن اللفضظ
"Pemberian idzin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian idzin menurut ucapan"
Kaidah ini dapat diterapkan antara lain pada diperbolehkannya tamu memakan hidangan yang disajikan oleh tuan rumah. Menurut kebiasaan bahwa sekalipun tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkannya berarti mempersilahkannya. Bahkan menghidangkan makanan itu lebih kuat dari pada ucapan mempersilahkan makanan yang tidak dihidangkan, sebagaimana Pepatah Arab
ارب حال افصح من لسا ن
"Betapa banyak tingkah laku (tindakan) yang lebih shahih dari pada ucapan"
KARAKTERISTIK, BENTUK dan PEMBAGIAN ADAT/URF
1. Urf qouli dan fi'ly
Urf qouly adalah kebiasaan adalah jenis kata, ungkapan, atau istilah tertentu yang diberlakukan oleh sebuah komunitas untuk menunjuk ma'na khusus, dan tidak ada kecenderungan makna lain di luar apa yang mereka pahami[9] Kebiasaan masyarakat Indonesia menyebut ekor untuk satuan hewan, contoh seekor sapi, dua ekor kerbau dan seterusnya. Yang dimaksud seekor bukan satu buntut sapi (dalam arti sebenarnya), tetapi satuan bilangan untuk satu sapi, dua kerbau dan seterusnya. Termasuk ke dalam urf qouly, di antaranya kaidah :
الحقيقة تترك بدلالة العادة
"Arti hakiki (yang sebenarnya, ma'na denotatif) ditinggalkan karena ada petunjuk dari arti menurut adat".
Adapun urf fi'li (dalam istilah lain disebut urf amali) adalah pekerjaan atau aktivitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma sosial[10]. Contohnya kebiasaan menggelengkan kepala sebagai tanda tidak setuju, menganggukkan kepala sebagai tanda setuju dan sebagainya. Termasuk ke dalam urf fi'ly ini di antaranya kaidah :
الاذن العرف كالاذن اللفظ
"Pemberian idzin menurut adat kebiasaan sama dengan idzin dengan ucapan".
2. Urf 'am dan khash
Jika ditinjau dari aspek komunitas pelakunya, adat terbagi dua kategori umum yaitu urf iyah 'ammah (budaya global atau universal) dan urf khashshoh (budaya lokal). Termasuk urfiyah ammah adalah adanya ucapan atau pekerjaan yang telah berlaku di seluruh dunia. Contohnya kata tholaq yang berlaku di seluruh dunia untuk menceraikan istrinya atau mengangkat kedua belah tangan sampai ke atas kepala yang berlaku di seluruh dunia untuk memberi tanda menyerah.
Adapun urf khashshah adalah adapt kebiasaan yang hanya berlaku pada suatu bangsa atau daerah tertentu. Contohnya tahlilan ketika ada kematian yang hanya berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia. Termasuk ke dalam urf 'am dan urf khash ini di antaranya berdasarkan kaidah :
التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
"Ketentuan berdasarkan urf seperti ketentuan berdasarkan nash"
3. Urf shahih dan fasid
Pembagian urf kepada shahih dan fasid ini apabila didasarkan kepada nash yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Apabila suatu suatu urf tidak bertentangan nash atau tidak merusak kemashlahatan, maka dikatagorikan kepada urf shahih. Sedangkan apabila bertentangan dengan nash atau menimbulkan kemafsadatan, maka dihukumi sebagai urf yang fasid.
Menurut para ulama adat yang shahih ini boleh atau bahkan wajib dipelihara. Nabi saw-pun sangat apresiatif pada cita kemashlahatan masyarakat Arab melalui adat-istiadat shahih mereka. Contohnya syarat kafa'ah (kesepadanan) dalam perkawinan adalah salah satu adat masyarakat Arab yang diapresiasi oleh Nabi saw dan kemudian menjadi syari'at.[11] Adapun urf yang fasid wajib dihilangkan, karena merusak fondasi hukum-hukum syari'at dan ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi cita kemashlahatan dan menolak keruksakan.
4. Urf sosial dan individual
Pembagian urf ke dalam urf sosial dan urf individual ini hampir sama dengan urf 'am dan urf khash, bedanya urf sosial mencakup urf 'am dan urf khash, sedangkan urf individual hanya berlaku untuk orang perorangan. Dalam khazanah fiqh, ternyata ada hukum-hukum tertentu yang berlaku untuk perorangan.
Contohnya : Haram shalat sunah setelah shalat ashar dan setelah shalat shubuh. Tetapi bagi orang yang telah terbiasa atau dawam shalat sunnah ashar atau shalat sunah shubuh, apabila suatu ketika ketinggalan tidak dapat melaksanakan sebelum ashar atau sebelum shubuh, maka shalat sunah tersebut dapat dilaksnakan setelah shalat ashar atau setelah shalat shubuh.
Demikian pula puasa pada hari syak yang hukumnya haram, tetapi bagi orang yang telah terbiasa puasa sunah, puasa tersebut menjadi tidak haram.
PENUTUP[2] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2, 2007), hlm. 79
[3] Ibid., hlm.79-80
[4] Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007), hlm. 128.
[5] Op. cit.
[6] Ibid.
[7] Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., ibid, hlm 291
[8] Ibid., 292
[9] Abdul Haq, dkk. Pormulasi Nalar Fiqh, (Kerjasama Percetakan Khalista Surabaya dan Kali Lima Lirboyo Kediri, Cet.II, 2006., hlm.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 293
As-Salam. Boleh saya tahu di mana sumbernya puan mendapatkan pembahagian 'urf sosial tersebut?
BalasHapus