Powered By Blogger

Minggu, 02 Januari 2011

THOLAQ DAN PROBLEMATIKANYA oleh HA. Saeful Mu'min

Sebagaimana dima'lumi bahwa tujuan nikah dalam konsepsi Islam bukan hanya memenuhi kebutuhan biologis semata, tetapi jauh lebih tinggi dan luas nilainya, yaitu dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan hidup dan kehidupan manusia, termasuk kebutuhan psikologis, sosiologis, bahkan kebutuhan ekonomis dan politis. Sebab bagi manusia dewasa banyak persoalan hidup dan kehidupannya yang tidak dapat diselesaikan dengan siapapun, kecuali bersama istri atau suami dan keluarga. Artinya banyak persoalan hidup dan kehudupan manusia yang tidak dapat diselesaikan dengan siapapun, kecuali hanya dapat dijawab secara memuaskan oleh suami atau istri dan keluarga. Itulah sebabnya diantara tujuan nikah yang cukup representatif dan cerdas adalah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 1/1974, yaitu :

"Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan tujuan membentuk keluaga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Tujuan nikah ini sejalan dengan Al-Qur'an Surat Al-Rum Ayat 21, yang artinya :
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tentram kepadanya, dan jadikan di antara kamu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir"

Berdasarkan Ayat di atas, pernikahan merupakan keterikatan dua pihak yang dilandasi mawwaddah (cinta yang penuh kelapangan terhadap kekurangan pasangannya sebagai bagian hidupnya), rahmah (kasih sayang dengan perasaan saling memiliki sebagai pilihan yang terbaik), dan sakinah (ketenangan, ketentraman, kekompakkan , harmonis dan terbuka). Dalam Al-Qur`an pernikahan adalah status suami istri yang diikat dalam ijab qabul dinilai sebagai perjanjian yang kokoh (mitsaqon gholidhon) antara dua manusia. Surat An-nisa(4) Ayat 21.


"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembalinya, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kokoh".

Namun demikian pada kenyataannya tidak semua pasangan suami istri atau rumah tangga mampu mencapai tujuan nikah tersebut. Banyak di antaranya yang terpaksa atau secara suka rela untuk bercerai, lengkap dengan berbagai alasannya, karena memang apabila telah memiliki alasan-alasan tertentu, syara` memperbolehkan seorang suami menceraikan istrinya, atau istri menggugat cerai kepada suaminya.
Dalam pemahaman dan keyakinan masyarakat yang telah melekat sejak lama secara turun menurun dan sulit dirobah berdasarkan yang mereka pelajari dari kitab-kitab fiqh, bahwa tholak itu adalah hak suami, ketika seorang suami akan menjatuhkan tholak, ia tidak memerlukan persyaratan yang rumit, cukup hanya mengucapkan suatu kalimat yang di dalamnya terdapat kata tholaq atau kata tertentu lainnya yang memiliki arti yang sama dengan tholak. Dengan mengucapan kata tholak atau kata tertentu lainnya, maka tholak tersebut dipastikan jatuh sekalipun tanpa niyat, atau dengan main-main atau bercanda. Salah satunya berdasarkan pada hadist Nabi saw , yang artinya:
"Dari Abi Hurairah r.a : Telah bersabda Rosulullah saw. : Ada tiga yang sungguhnya berarti sungguh dan bercandanyapun berarti sungguh, yaitu nikah, tholak, dan ruju`. Telah meriwayatkan hadist ini Imam yang empat, kecuali Imam Nasa`i, dan menshahihkan hadist ini Imam Hakim"

Hal ini kotradiktif sekali dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 , yang menurut Bab VII Pasal 39 Ayat 1 atau Kompilasi Hukum Islam Bab XVI Pasal 115 , menyatakan bahwa :
"Penceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan setelah pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak".
Saya sendiri berkeyakinan bahwa tujuan undang-undang ini baik, dan dipastikan telah melalui proses pertimbangan yang matang berdasarkan kaidah-kaidah yang dibenarkan oleh syara'. Namun karena syara' sendiri memberikan fasilitas bagi adanya perubahan apabila telah memenuhi persyaratannya. (Al-Hukumu yadurru ma'a ilatihi- hukum berubah serta perubahan ilatnya). Terlebin undang-undang ini telah terlalu lama, hampir lebih dari 26 tahun, dipastikan telah jauh tertinggal dari perubahan kultur dan perkembangan ilmu, termasuk fiqh.
Dengan demikian, di samping adanya hal yang kontradiktif ini sebagaimana diuraikan di atas, yang mengharuskan adanya upaya mencari solusinya, juga agar Undang-Undang No. 1/1974 tidak ketinggalan zaman.
Hendaknya difahami dan disadari bahwa sebuah undang-undang atau berbagai peraturan apapun jangan sampai hanya ada di tingkat ideal atau alam hayalan belaka, tetapi seharusnya hidup di alam realita, ya'ni sejalan dengan keyakinan masyarakat yang diaturnya. Sebab hidup di alam realita lebih baik dari pada hidup di alam hayalan.


1 komentar:

  1. Assalamualaikum,
    berdasarkan dari situs:
    http://baniamahajihasan.wordpress.com/tag/kh-muhammad-ilyas/

    apakah bapak terang silsilah anu lengkap KH. MUHAMMAD ILYAS (Mama Cibitung) Pendiri Pondok Pesantren Sukamanah Cibitung? anu nyambung ka Dalem Sawidak
    hatur nuhun respon na.
    wassalam
    FB saya: https://www.facebook.com/wahib.yahya

    BalasHapus